Dapatkah layanan keuangan digital dan e-commerce membantu mengurangi dampak krisis COVID-19 pada kehidupan masyarakat?
Negara-negara di seluruh dunia telah banyak memberlakukan pembatasan mobilitas dan interaksi sosial untuk memerangi penyebaran COVID-19. Indonesia tidaklah terkecuali.
Di bulan April, pemerintah mengumumkan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan melarang perjalanan mudik Idul Fitri, dimana puluhan juta orang Indonesia biasanya kembali ke kota/desa asal mereka untuk merayakan bersama keluarga.
Pembatasan-pembatasan lainnya juga berupa instruksi untuk kerja dari rumah, menutup tempat umum dan transportasi, dan bahkan larangan untuk bepergian dari dan ke tempat-tempat tertentu. Langkah-langkah ini telah banyak mempengaruhi banyak aspek kehidupan sehari-hari masyarakat — mulai dari bagaimana cara orang berkomunikasi, bekerja, memperoleh barang, dan transaksi.
Di tengah ini semua, ada dorongan yang kuat untuk mempercepat adopsi dagang daring (e-commerce) dan layanan keuangan digital (LKD). Informasi anekdotal dari diskusi tim kami dengan beberapa platform e-commerce di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan pada transaksi dan jumlah pengguna baru. Khususnya, peningkatan kebutuhan untuk makanan pokok, produk kesehatan, dan kebutuhan sekolah.
Instruksi untuk melakukan pembatasan sosial dan untuk sebisa mungkin menghindari tempat umum telah mendorong setiap orang untuk beralih dari membeli kebutuhan sehari-hari yang awalnya dilakukan secara luring (offline) menjadi secara daring (online). Terlebih dari itu, pembayaran digital juga berperan semakin penting untuk memfasilitasi transaksi e-commerce dan remitansi atau pengiriman uang kepada anggota keluarga yang jauh.
Bagaimana LKD dan e-commerce dapat membantu masyarakat dalam mengurangi dampak dari Covid-19?
Untuk mereka yang memiliki akses ke telepon genggam dan literasi digital, e-commerce dan LKD dapat membantu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. LKD tidak hanya menawarkan cara pembayaran dan transfer yang cepat dan tanpa kontak, namun ada juga beberapa manfaat yang lain.
Sebagai contoh, terdapat bukti ilmiah yang kuat bahwa mobile savings dan remitansi dapat digunakan untuk meningkatkan berbagi risiko (risk sharing) antar jaringan sosial individu serta membantu melancarkan konsumsi (consumption smoothing). Di Rwanda, pada masa krisis, remitansi melalui akun pulsa digunakan oleh individu untuk membantu meringankan tekanan dari kehilangan pendapatan bagi orang-orang yang merasakan dampak paling besar.
Selain itu, e-commerce dapat menjadi cara bagi masyarakat untuk menemukan dan membeli kebutuhan yang langka, khususnya di daerah terpencil atau daerah yang mengalami kekurangan pasokan barang-barang tertentu (shortages). Salah satu yang menjadi perhatian selama krisis COVID-19 ini adalah lonjakan harga untuk barang-barang yang permintaannya naik secara signifikan (contohnya masker, hand sanitizer, dll.). Untuk menangkal hal ini, perusahaan-perusahaan e-commerce besar di Indonesia mencanangkan inisiatif untuk membatasi praktik seperti ini.
Namun, siapa saja yang dapat mendapatkan manfaat dari adopsi LKD dan e-commerce? Saat ini, LKD dan e-commerce masih belum dapat menjangkau ke banyak orang. Untuk memberikan gambaran mengenai akses masyarakat Indonesia ke LKD, kita dapat melihat hasil dari Financial Inclusion Insights Survey, yang dilakukan oleh Dewan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) dan Kantar. Data ini dikumpulkan di antara bulan Maret dan Mei tahun 2019 dan representatif secara nasional. Survey ini memberikan gambaran yang terkini akan kondisi inklusi digital di Indonesia
Dari grafik ini, dapat dilihat bahwa mayoritas orang Indonesia tidak memiliki pengalaman dengan uang elektronik (e-money).
Secara keseluruhan, hanya 6,8 persen orang yang menyatakan pernah menggunakan e-money di tahun 2019.
Tingkat penggunaan e-money sangat berhubungan erat dengan pendidikan: hanya 5,2 persen orang dengan pendidikan SMP menggunakan e-money, sedangkan sebanyak 27,3 persen dari lulusan universitas menggunakan layanan tersebut. Tetap saja, dari grafik ini dapat disimpulkan bahwa, mayoritas - bahkan orang-orang yang paling terdidik sekalipun - masih memiliki paparan pada e-money yang relatif rendah.
Namun, disisi lain, survey tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya, banyak orang Indonesia yang mampu untuk mengadopsi LKD.
Kepemilikan telepon pintar (smartphone) adalah variabel yang dapat digunakan untuk mengukur potensi akses terhadap e-money dan e-commerce. Walaupun kepemilikan smartphone sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan, grafik di atas menunjukan secara jelas bahwa kebanyak non-user e-money memiliki alat yang diperlukan untuk mengadopsinya. Analisis lain, yang juga ditemukan pada laporan SNKI pada survey tersebut, menunjukkan level kemampuan penggunaan smartphone juga tinggi. Sehingga sebenarnya terdapat banyak peluang untuk meningkatkan jumlah adopsi atas LKD dan e-commerce.
Potensi untuk meningkatkan adopsi LKD dan e-commerce
Terdapat setidaknya dua peluang besar yang dapat dimanfaatkan penyedia layanan untuk meningkatkan inklusi keuangan digital.
Pertama, pemerintah telah memperluas channel distribusi dari beberapa program bantuan sosial untuk juga menyertakan platform e-money. Ini berpotensi dapat mengaktifkan pengguna e-money yang tidak aktif atau mendorong munculnya pengguna baru.
Kedua, kebutuhan akan transfer uang secara digital diprediksi akan meningkat, khususnya menjelang lebaran. Pemberian tunjangan hari raya kepada keluarga merupakan salah satu tradisi yang cukup sentral dalam perayaan lebaran. Dengan adanya pembatasan perjalanan mudik, permintaan atas alternatif pengiriman uang yang dapat dilakukan secara digital berpotensi akan meningkat.
Namun, kemampuan penyedia layanan dalam melakukan onboarding atas segmen masyarakat luas ke dalam ekosistem LKD dan e-commerce, sangat bergantung pada kemampuan penyedia layanan untuk mengidentifikasi apa yang menjadi kebutuhan mereka.
Memudahkan proses onboarding dan membuat layanan ini menjadi lebih mudah diakses merupakan dua hal yang penting. Sebagai contoh: platform LKD dapat membuat proses registrasi dan verifikasi (“Know Your Customer”) lebih sederhana atau menyiapkan materi pengenalan yang mudah dipahami untuk pengguna e-money yang baru.
Untuk meningkatkan aksesibilitas, agen e-commerce dan LKD dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan materi-materi pengenalan tersebut, selain untuk memfasilitasi lebih banyak orang agar dapat mengakses produk atau layanan LKD dan e-commerce. Dan tentunya, memastikan pendekatan ini mendukung praktik pembatasan sosial yang baik juga merupakan hal yang penting.
J-PAL Southeast Asia (J-PAL SEA) Inclusive Financial Innovation Initiative (IFII) bekerja sama dengan pemerintah, sektor swasta, dan organisasi nirlaba untuk memahami lebih jauh bagaimana LKD dan e-commerce dalam mendukung kesejahteraan masyarakat, terutama selama pandemi COVID-19.
Tulisan blog ini didasarkan pada studi awal yang dilakukan sebagai bagian dari inisiatif tersebut. Didukung oleh Bill and Melinda Gates Foundation (BMGF), IFII bertujuan untuk membantu memastikan bahwa ekosistem LKD dan e-commerce di Indonesia dapat mendorong perkembangan ekonomi yang juga memberdayakan perempuan, kelompok menengah kebawah, dan kelompok yang termarginalkan.
Untuk informasi lebih lanjut terkait IFII, contact Aliyyah Rusdinar.